Pengikut

Minggu, 06 Juni 2010

Ayat - Ayat Cinta


Fantastis. Inilah kata yang tepat untuk perolehan jumlah penonton film Ayat-ayat Cinta. Bayangkan, hanya butuh waktu dua minggu, untuk menembus angka dua juta penonton. Dan, memasuki minggu keempat ini, jumlah pengunjung tetap membludak. Perjuangan saya untuk nonton film ini lewat jalur biasa, datang ke gedung bioskop dua jam sebelum pertunjukan, dua kali sudah, sia-sia belaka. Kata beberapa teman saya, kalau mau dapat karcis, harus pesan dari jam 10 pagi, atau bahkan beberapa hari sebelum jam pertunjukan. Film tentang hantu mana yang bisa mengalahkan fenomena ini? Atau, sebut satu saja film komedi lokal yang belakangan ini dipenuhi jalan cerita dan idiom-idiom yang biasanya kita temukan di situs-situs porno, yang bisa menandingi jumlah penonton film ini. Rasanya, tidak ada.


Produser Ayat-ayat Cinta, Manoj Punjabi, di berbagai media menyebutkan, penonton film ini ditargetkan mencapai 7 juta, jauh di atas rata-rata film lokal laris yang dibilang meledak di pasar cukup dengan sejuta penonton.

Apa yang terjadi dengan penonton film Indonesia? Mungkin mereka memang tengah mencari alternatif genre baru. Soalnya, selama beberapa tahun terakhir ini biokop memang dipenuhi dengan film hantu, kisah cinta yang “mentah ceritanya”, atau komedi yang “diangkat dari situs porno.”

Tapi, tunggu dulu. Jangan buru-buru bilang bahwa Ayat-ayat Cinta merupakan sebuah film yang sempurna sebagai sebuah film Islami. Eric Sasono, kritikus film yang hebat itu, di SCTV bilang, Hanung Bramantyo menafsirkan karakter Fahri menjadi berbeda. Fahri tak muncul sebagai seorang muslim, seorang lelaki, yang kuat. Padahal, di novel yang alur ceritanya sangat tidak tergarap dengan baik itu, Fahri adalah seorang muslim sejati yang perilakunya sudah lama menjadi trend di sebagian kalangan muslim. Jadi, saya tidak sepakat dengan Hanung, yang entah risetnya dari mana, bahwa Fahri (dalam versi novel) terlalu sempurna, sehingga kemudian muncul “Fahri baru” dalam film itu. Memang, sutradara berhak mengobrak-abrik karakter tokoh dan jalan cerita. Tapi, jika itu membuat film kehilangan roh, rasanya kok perubahan itu tidak tepat.

Tapi, apa boleh buat. Inilah budaya pop kita. Novel yang alur ceritanya tidak enak pun bisa laku keras. Film yang kehilangan roh juga sukses luar biasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar